Penerapan Perbub Kebudayaan di Lobar Dinilai Beratkan Siswa

Penerapan Perbub Kebudayaan di Lobar Dinilai Beratkan Siswa

Lombok Barat – Hari ini (Selasa, 11/10) merupakan hari pertama pemberlakuan peraturan bupati Lombok Barat nomor 38 tahun 2022 tentang Pelestarian Kebudayaan Daerah. Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan kabupaten setempat menyurati semua kepala SD dan SLTP se kabupaten Lombok Barat agar mewajibkan seluruh warga sekolah menggunakan pakaian adat sasak setiap hari Selasa dan program Selasa budaya.
Beragam cerita mewarnai hari pertama pemberlakuan seragam adat sasak itu. Mulai dari tangisan histeris seorang siswa sekolah dasar yang malu masuk sekolah karena tidak memiliki pakaian adat sasak hingga diserbunya pedagang pakaian adat dibeberapa pasar tradisional di Kota Mataram dan Lombok Barat. Bahkan menurut cerita Nirmala, salah seorang ibu siswa SLTP di Labuapi yang rela datang terlambat ke tempat kerjanya karena harus menasehati anaknya yang tidak mau sekolah karena tidak memiliki pakaian adat.
“Ooo… itu wajib ya bu? Pantesan anak saya tadi pagi nangis histeris tidak mau sekolah karena tidak punya baju Lambung (red-Pakaian adat sasak). Kalau bisa diinformasikan jauh sebelum pemakaiannya bu. Biar kami bisa cari pinjaman dulu untuk membeli baju adat itu” keluh Nirmala.
Menanggapi kondisi itu, DR Muhammad Anshori Muazzar Habibi seorang pakar pendidikan di Universitas Mataram menilai jika kebijakan penggunaan pakaian adat sasak di Lombok Barat itu memberatkan siswa dan tidak relevan dengan teori pendidikan.
“Sebelumnya saya apresiasi persoalan pemakaian pakaian adat itu tapi masalahnya adalah kebijakan itu memberatkan siswa dan orang tuanya. Tidak semua perekonomian orang tua siswa mampu untuk membeli pakaian adat itu. Apalagi harus dipakai setiap satu minggu sekali,” kata Dosen Psikologi pendidikan dan peserta didik di Kampus Putih Uiversitas Mataram saat diwawancara media ini.
“Ini bukan lagi menanamkan rasa cinta budaya sendiri melainkan membebankan siswa dan orang tua. Untuk mencintai kebudayaan dan identitas tidak harus dengan menggunakan pakaian atau atribut semata tetapi harus ditunjukan dengan adanya materi muatan lokal yang nanti harus di suport oleh Dinas Pendidikan seperti mereka diajak ke museum, diajak ke pentas pentas budaya. Itu jauh lebih baik dibandingkan harus memaksa siswa menggunakan pakaian adat,” terang Muazzar yang juga mengelola sebuah sekolah modern di kawasan Lombok Barat.
Ia berharap, bupati dan kepala Dinas Pendidikan melibatkan pakar pakar pendidikan dan staf staf ahli sebelum meramu dan menerbitkan sebuah kebijakan. Sehingga iapun meminta untuk meninjau ulang pemberlakuan kebijakan Selasa budaya yang mewajibkan warga sekolah menggunakan pakaian adat sasak setiap minggunya.(shd/lbr)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )